80% Bahan Baku Susu Masih Diimpor

004447500_1417854959-milk-500_0Industri pengolahan susu lokal meminta pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada peternakan sapi perah. Lantaran bahan baku industri tersebut sebagian besar masih diimpor.Direktur Eksektif Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS), Yelita Basri mengatakan ada sekitar 44 industri pengolahan susu baik skala besar dan menengah yang membutuhkan 3,8 juta ton susu perah per tahun sebagai bahan baku.

Sementara itu, saat ini ada 100 ribu peternak sapi perah yang menghasilkan 690 ribu ton susu mentah setiap tahun tiap tahun atau hanya mampu memenuhi 20 persen dari kebutuhan.”Selama ini 80 persen tergantung impor susu, sementara pasokan dari dalam negeri hanya memenuhi 20 persen-25 persen dari seluruh kebutuhan pengolah susu yang ada,” ujar Yelita di Kantor Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Senin (12/1/2015).

Dia menjelaskan, setiap tahun produksi susu olahan tumbuh 10 persen. Namun perkembangan jumlah sapi perah di dalam negeri tidak mampu mengimbangi, bahkan dalam beberapa tahun terakhir semakin menurun.”Populasi sapi perah sekarang sekitar 600 ribu ekor, dimana hanya 300 ribu ekor saja yang siap produksi. Dan dari jumlah itu, hanya 40 persen saja yang mampu produksi, karena ada yang sakit, ada yang sudah tua. Jadi hanya 120 ribu ekor saja yang efektif berproduksi,” tandasnya.

 

KAWAL ANTIPLAGIASI, PERGURUAN TINGGI HARUS BENTUK DEWAN ETIK

IMG_7365“Kita tidak akan segan menegakkan praktik plagiasi di perguruan tinggi, bahkan gelar Guru Besar bisa dicabut bila terbukti curang.”

Peringatan itu kembali menegas ketika Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir memaparkan sambutan pada acara Seminar Nasional Plagiasi dalam Ranah Etika dan Hukum, Kamis (16/4), di Jakarta. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi praktik kecurangan akademik, persentase artikel palsu dan mencatut penelitian milik orang lain masih terus marak ditemukan. Kasus plagiat, lanjut Nasir, harus dicegah dengan lebih ketat, di antaranya yang diusulkannya adalah pembentukan majelis atau dewan etik di masing-masing perguruan tinggi.

Hadir sebagai pembicara kunci dalam seminar tersebut Jimly Asshidiqie, Adi Sulistyono, dan Widyo Pramono. Topik yang mengemuka berkaitan erat dengan ranah kode etik dan hukum atas aduan kasus-kasus plagiasi. Pasalnya, peraturan terkait plagiarisme sesungguhnya sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penang­gu­langan Plagiat di Perguruan Tinggi.

“Namun akademisi banyak yang tidak sadar atau pura-pura tidak sadar hukum, praktik plagiasi terus terjadi,” ungkap Jimly Asshidiqie.

Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Supriadi Rustad mengatakan, potensi terjadinya kasus plagiat muncul saat pengajuan angka kredit untuk kenaikan pangkat dan menjadi guru besar. Praktik semacam itu sangat mudah dideteksi melalui sistem dalam jaringan. Pemeriksaan berbasis laman dan teknologi informasi mestinya bisa menjadi momok bagi akademisi untuk berpikir ribuan kali ketika hendak memplagiasi. Itulah sebabnya, jika secara sistem dan teknis sudah ditanggulangi lewat penilaian berbasis online, namun masih muncul plagiasi, maka ranah hukum yang harus diperkuat.

“Sebab praktik plagiat sebelumnya kerap terjadi berulang. Sistem online ini juga menegakkan kebenar­an dan keadilan,” ujarnya. (nrs)

Kementerian Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi juga mengawal kasus plagiasi ini dengan ketat melalui Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan. Dalam kajiannya nanti akan diperhatikan tolok ukur hasil karya publikasi penelitian agar berkualitas, berdaya saing, dan bersih dari plagiasi. (nrs)

sumber : http://dikti.go.id/blog/2015/04/17/kawal-antiplagiasi-perguruan-tinggi-harus-bentuk-dewan-etik/